Sabtu, 15 Desember 2012

Terapi Wicara & Anak Terlambat Bicara




 Terapi wicara dan terapi anak terlambat bicara dapat dilakukan dengan berbagai metoda terapi dikombinasikan dengan hipnoterapi. Dengan dukungan orang tua, semangat sang anak, dan kasih sayang Sang Maha Pencipta, kesembuhan adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi! Percayakah Anda?

Permasalahan justru banyak terletak pada level keyakinan orang tua: apakah ini akan berhasil? Ah saya coba saja, siapa tahu berhasil. Akan lebih baik bila diberi niatan yang ikhlas serta dengan penuh pengharapan kepada Sang Maha Kuasa. Doa dan pengharapan akan sangat membantu.


 Seiring dengan itu, ikhtiar dan usaha dari orang tua sangat diharapkan. Namun hal ini harus dilakukan tidak oleh sembarang orang. Hanya dilakukan oleh yang mengerti betul metoda dan caranya yang terbukti baik dan hasil permanen.

Sebagian anak mengalami terlambat bicara. Namun seberapa terlambat inilah yang menjadi permasalahan. Terapi anak terlambat bicara yang tepat akan sangat membantu anak-anak untuk bisa berkomunikasi dengan cepat dan benar. Hal ini membutuhkan support / dukungan dari orang tua secara penuh.

Namun ada kalanya faktor-faktor lain ikut mempengaruhi mengapa anak terlambat bicara. Bisa saja orang tua bersikap keras, sering membentak, memaki-maki orang (dan sang anak) sehingga timbul ketakutan yang luar biasa di dalam diri sang anak bahkan untuk berbicara sekalipun.

Atau mungkin ada ketakutan / trauma lainnya sehingga mempengaruhi timing dari kemampuan anak untuk berbicara. Di sinilah peran seorang ahli untuk menggaliroot cause (sumber / inti masalah) yang sebenarnya.

Jadi sayangilah anak-anak Anda dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari, ya. Mari kita bentuk generasi mendatang yang jauuuuh lebih baik daripada kita. Setuju?

Peranan Terapi Wicara pada Anak Tuna Rungu


"Peranan Terapi Wicara dalam Penanganan Anak Tuna Rungu"

Sebagai pembicara kali ini adalah Dwi Yanti, A.Md.TW dimana beliau juga merupakan orangtua anak tunarungu yang masih harus diterapi wicara.

Dalam pembahasan kali ini ditekankan pentingnya peranan terapi wicara pada anak tunarungu. Berbeda dengan anak yang mengalami autisme. Pada anak yang mengalami gangguan dengar. Lebih di tekankan pengenalan suara melalui hearing aid (alat bantu dengar) yang dikenakan.


ibu Dwi menerangkan tentang terapi wicara

Anak-anak yang mengalami gangguan dengar biasanya tidak tahu seperti apa bentuk suara itu. Tidak seperti anak yang berndengaran normal, dimana pengenalan suara terjadi secara alami sejak anak tersebut baru lahir. Untuk anak tunarungu pengenalan suara dilakukan dengan dengan penuh tahapan.

Pengenaan alat menjadi begitu penting sebab melalui hearing aid (alat bantu dengar), anak akan diajarkan mengenal suara dan bagaimana mengeluarkan suara.

Terapi wicara pada anak yang mengalami gangguan dengar bukan sekedar agar anak bisa bersuara dan mengeluarkan kata-kata. Tetapi lebih dari itu. Terapi wicara ini juga maksudkan agar anak mengerti kata yang diucapkan. Sebab seringkali anak suka meniru apa yang dilihat dan didengar tanpa mengetahui arti kata yang ditirukan. Tentu tak ada orangtua yang mau anaknya hanya sekedar peniru saja tanpa memahami apa yang diucapkan.

ibu Dwi mengenalkan tahapan pada terapi wicara


Dalam acara ini juga diperdengarkan rekaman Shafa (putri ibu Royke) saat berusia 5 tahun. Dimana setelah melewati tahap terapi wicara yang panjang saat usia 3-5 tahun. akhirnya putrinya bisa juga mengucapkan kata-kata dan berbagai pertanyaan.
Pada sesi ini ibu Royke juga menjabarkan bagaimana tak mudahnya sebagai orangtua melatih anak berbicara. Harus punya pendirian kuat dan tak mudah menyerah. Karena seringkali orangtua enggan melatih kembali anaknya.


mendengarkan rekaman putri ibu Royke

Maka dari itu selain melalui terapi wicara orangtua juga harus aktif berperan serta mengulang kembali apa yang diajarkan oleh terapisnya. Dengan begitu diharapkan perkembangan bicara anak yang mengalami gangguan dengar bisa lebih mudah ditangani.

orangtua ATR antusias medengarkan bagaimana terapi wicara itu

Secara keseluruhan acara ini mendapat respon postif terutama pada orangtua ATR yang anaknya masih berusia balita dan sedang dalam tahap melatih mendengar dan bicara.
Sumber :
http://yusnitafebri.blogspot.com/2010/08/cerita-dari-parenting-support-tentang.html

Terapi Wicara Dan Telat Bicara



Terapi Wicara Dan Telat Bicara



Apa saja yang dilakukan dalam terapi wicara? Anakku belum bisa bicara dan dianjurkan untuk mengikuti terapi oleh dokter

Tanya:
Ibus yang pintar dan baik, aku mau tanya tentang terapi wicara untuk aak. Apa saja yang dilakukan dalam terapi itu, adakah kurikulumnya ?Anakku (3 th, 1 bulan) bicaranya belum jelas dan dianjurkan untuk mngikuti terapi. Kalau sempat hari ini aku mau bertemu dokter rehabilitasi medik. Tapi aku belum tahu apa yang kira-kira harus aku gali dari dokter itu. Tolong aku ya. Terima kasih. [St]

Jawab:
Anakku (19,5 bulan) sudah 1,5 bulan ini mengikuti terapi wicara di Klinik Pela, ditangani oleh 3 orang (dokter anak, psikolog dan dokter rehab). Dari penilaian mereka diputuskan anakku memerlukan terapi yaitu terapi wicara dan terapi okupasi (untuk konsentrasi). Anakku terapi 2 kali dalam seminggu. Menurut pengalamanku, si dokter yang akan banyak bertanya dan menggali informasi dari kita tentang anak kita sambil dia melakukan observasi. Berdasarkan informasi dari kita, dokter bisa lebih cermat melakukan penilaian.

Anakku baru sebulan ini mengikut terapi di Klinik Tumbuh Kembang RS Pondok Indah. Jadi belum banyak yang bisa digali. Si anak diajari untuk menurut dulu, sekalian adaptasi, baru kemudian pelan-pelan diajari untuk bicara. Itupun pengalaman ibu-ibu lain yang aku dengar. Sebelum dikirim untuk terapi, dokter akan banyak menginterview kita dan dia akan menilai juga tingkah laku anak. Lucunya waktu kebetulan anak si dokter juga sedang di sana jadi anakku main dengan anak dokter sehingga dokter bias melakukan observasi.Keputusannya hanya kurang stimulus saja. Jadi perlu dilatih secara intensif dengan terapi dan di rumah.

Tanya:
Mau tanya pendapat ibu semua. Anakku cowok, 21 bulan (akhir bulan ini 22). Belum bisa bicara sampai sekarang. Maksudnya, dia sudah mengeluarkan suara macam-macam, tapi belum ada yang berarti. Yang rada jelas paling mama, papa, emoh, kuda, gajah, pisang. Kalau mau sesuatu dia bisa menunjuk, atau mengeluarkan suara ‘mamamamamam’, atau menarik tangan orang yang di dekatnya. Kalau dikasih tahu sesuatu dia mengerti. Nah, karena adikku lagi ikut pendidikan spesialis anak, dia tanya ke dosennya. Terus sama dosennya itu disuruh bawa cepat-cepat ke tempat prakteknya. Di sana diobservasi, terus disuruh test BERA ke dokter THT. Dokter itu curiga, jangan-jangan salah satu penyebab anakku tidak bicara adalah karena kurang bisa dengar. Padahal aku sudah sering test di rumah, aku panggil pakai suara halus atau aku kasih tahu sesuatu pakai suara kecil, dia respon. Hanya saja dia memang kalau sudah konsen sama sesuatu, mau diteriaki atau mau digoyang-goyang badannya juga tidak merespon panggilan. Setelah test BERA, hasilnya telinga kanan baru respon setelah 50db, telinga kiri baru respon setelah 40 db. Hanya, kata dokter THT-nya, tidak perlu alat bantu dengar karena kemungkinan besar gangguan dengar ringan itu penyebabnya ada serumen sedikit dan anakku lagi pilek. Setelah hasilnya dibawa ke dokter yang dosennya adikku itu, terus anakku disuruh terapi wicara 2x seminggu. Akan mulai Kamis minggu ini. Aku ingin pendapat ibu sekalian. Menurut pengalaman ibu bagaimana? Sebenarnya perlu tidak anakku ikut terapi wicara? Orang-orang yang di sekitarku soalnya nadanya menyalahkan aku. Katanya aku terlalu khawatirlah, aku terlalu memaksakanlah. Ada juga yang bilang, kan anakku belum 2 tahun, buat apa pakai terapi gitu-gitu segala? Bagaimana ya ? Kasih pendapat ya perlu sekali [SKY]

Jawab:
Anakku yang kedua juga cowok, sekarang umur 3 tahun kurang 5 bulan. Ketika umur 2 tahunan anakku juga belum lancar bicara malah kalau disbanding anakmu yang umur 2 thn kurang sudah bisa bicara mama papa gajah pisang sudah jauh lebih bagus tu. Tadinya aku juga sempat khawatir kena autis. Aku juga rajin baca-baca buku tentang autis tapi kalau dilihat memang karena anaknya yang kurang terstimulasi untuk bicara soalnya dia tetap kelihatan merespon ke orang lain apalagi kalau ke papanya, eyang tung-nya atau sepupu-sepupunya yang cowok kelihatan anakku tuh senang sekali diajak main. Karena dirumah kalau pagi sepi (sepupu dan kakak-kakaknya sudah pada sekolah tiap hari) akhirnya dia aku ikutkan play group yang 2 thn-an. Sekitar 3 bulan-an Pasha sekolah tiba-tiba dia mengoceh macam-macam. Aku sekarang suka takjub saja soalnya dia sering sebut kata-kata yang baru. Dan sekarang jadinya bicara terus dan kalau dia belum puas sama jawabannya dia akan tanya terus, senang sekali. Kalau saranku mbak untuk anak laki-laki umur 2 tahun belum termasuk terlambat bicara tapi itu balik lagi ke feeling orang tua-nya. Setiap orang tua biasanya punya feeling tentang anaknya masing-masing apakah memang cuma terlambat bicara atau memang ada sesuatu. Mungkin ikut ke play group juga bagus buat dia bisa bersosialisasi dan menstimulasi bicaranya. Alhamdulillah guru di kelasnya anakku tuh sabaaar sekali dan memang orangnya ngemong ke anak-anak kecil. Sepertinya anakku dulu memang tipe anak yang agresif kalau didekati anak lain mungkin karena sebelumnya dia belum bisa bicara, tapi semenjak “sekolah” dia jadi bisa mengemukakan rasa tidak sukanya dengan marah, tanpa harus bertindak agresif ke anak lain [Gt]

Jawab:
Mbak, anakku 23 bualn juga agak telat bicaranya. Kepintaran anak seusianya sudah bisa ia lakukan bahkan sudah mengerti kalau disuruh-suruh. Sepanjang ini dia sudah bisa panggil mamah, papah, bapa, teteh, kaka, mamam dan beberapa kata pendek lainnya. Cuma untuk menyambung kata dia masih belum bisa. Terus terang aku khawatir sekali, dan sempat konsul ke Dsa-nya katanya tunggu sampai umur 2 tahun, tapi aku tidak sabar, jadi 2 minggu yang lalu aku bawa dia ke Klinik Terpadu Tumbuh Kembang Anak di Kramat Pela, kebayoran untuk diobservasi, alhamdulillah hasilnya: anakku cuma telat 3 bulan dari semestinya, alias masih dalam taraf normal, cuma saja ada kecenderungan “malas” bicara. Tapi perkembangan yang lainnya sudah setara dengan anak 23 bulan. Akhirnya anakku dijadwalkan terapi wicara 2 minggu sekali di sana. Dan sekarang sudah berjalan 2x pertemuan, alhamdulillah baik-baik saja. Jadi menurutku, keputusan mbak memasukkan ke terapi wicara sudah benar, daripada telat sama sekali? Aku cepat bertindak, karena lihat pengalaman anaknya temanku yang ikut terapi ini. Kalau kasusnya anaknya malah sempat dicurigai autis karena tidak ada kontak mata kalau diajak bicara, dan beberapa bulan setelah terapi sudah cerewet sekali! Sekarang malah sudah pintar sekali bicaranya! Sebelum aku ke klinik tersebut, sebenarnya juga ada pro & kontra, cuma dari pihak keluarga sangat mendukung dan beberapa kali aku baca artikel tentang anak yang telat bicara, jadilah aku cepat-cepat bertindak. Menurutku daripada dimasukkan ke PG sejenis tumbletots/gymbore, lebih baik kita “sekolahkan” ke terapi wicara supaya anaknya fokus dan tidak campur-campur sama bahasa asing. Aku & suami juga ada andil kesalahannya, yaitu membiarkan anakku nonton film seperti Telletubies yang berbahasa Inggris. Justru anak yang agak telat bicaranya jangan dibuat bingung dengan 2 bahasa dulu, kalau sudah lancar baru boleh, begitu kata guru/terapisnya.
Kalau metodenya anakku 1 guru = 1 murid, hari pertama masih boleh didampingi, hari kedua tidak boleh lagi didampingi, awalnya memang agak rewel cuma, akhirnya lumayan sukses, karena dia sudah bisa konsen ke gurunya. Di rumah juga kita harus mengulang-ulang yang sudah
diajarkan di sana supaya makin lancar. Tadinya aku mau mendaftarkan ke Klinik Tumbuh Kembang Anak yang di RS Harapan Kita, cuma antri untuk konsul saja sampai sebulan, akhirnya aku dirujuk ke Klinik Kramat Pela itu. Pokoknya mba tidak usah bingung-bingung, apa yang terbaik buat anak kita hanya kita, orang tuanya yang tahu Lagipula di sana suasananya juga menyenangkan, hitung-hitung sekolah privat saja [Wwd]
Pengalaman Mbak ini sama persis dengan pengalamanku dulu dengan anak pertama. Waktu itu orang-orang bilang begitu, tapi aku ikuti saja saran psikiater dan psikolog, daripada menyesal. Tidak apa-apa ikut terapi wicara. Yang aku lihat anakku jadi lebih bisa mengekspresikan keinginannya. Semakin dini tertangani kan semakin baik, karena umur emas kan 0-5 tahun, jadi kalau ketahuan pada umur-umur itu cepat bisa penyembuhannya [An]
Perkembangan bahasa pada anak berbeda-beda. Ada yang cepat ada yang lambat. Faktor-faktor yang mempengaruhi juga banyak. Tidak hanya berasal dari dalam diri anak (bawaan), tapi yang paling berpengaruh adalah lingkungan. Kasus anak lambat bicara kadang bukan sekedar ada gangguan perkembangan bahasa, tapi bisa juga karena kurangnya latihan. Karena perkembangan bahasa bukan sesuatu yang otomatis akan dikuasai oleh anak. Pada umur 2 tahun pada umumnya akan terjadi yang disebut “ledakan bahasa”. Dalam hal ini anak yang tampaknya tidak bisa bicara akan mulai menggunakan kalimat-kalimat pendek. Jadi kalau anak diam bukan berarti tidak bisa bicara. Karena aspek bicara meliputi kata-kata yang diucapkan dan pemahaman terhadap kata-kata itu. Kalau saya baca ceritanya mbak, tampak di situ kurangnya latihan. Jadi kalau anak mau sesuatu, dengan menunjuk barang yang diinginkan, orang di sekitarnya akan segera mengambilkan barang tersebut. Karena itu, anaknya jadi tidak terlatih untuk mengatakan dengan jelas apa yang diinginkannya. Masalah anaknya kalau lagi konsen sesuatu susah dipanggil, itu hal yang normal menurutku. Kalau dia sama sekali tidak bisa konsen malah kita yang mesti waspada. Menurutku, sebaiknya sebelum melakukan terapi bicara, Mbak bisa mencoba untuk melatih anaknya untuk mengungkapkan dengan artikulasi yang jelas (bukan dengan suara bayi) kata-kata yang ingin diucapkan. Misalnya, bila anak menunjuk gelas pertanda dia haus, tanyakan adek ingin apa? Minum ya? Kalau dia mengangguk, katakan, coba adek bilang mau minum dan diminta untuk mengulangi kata-kata tersebut. Latihan ini tentunya tidak bisa instan ya, harus dilakukan intensif dan juga komitmen dari orang-orang di sekitar. Jadi tidak hanya mbak dan suami yang melakukan, juga pembantu, nenek kakek, dan saudara-saudara lainnya. Kemudian coba pancing juga dengan nyanyian. Menyanyi adalah hal yang menyenangkan untuk mempelajari bahasa. Saran saya, bila mbak  masih khawatir dengan perkembangan bicara anaknya, sebaiknya sebelum melakukan terapi, anaknya dibawa ke psikolog untuk pemeriksaan lebih lanjut sambil membawa tes BERA nya. Selain itu supaya kita bisa  mengetahui apakah, gangguan bicara ini apakah memang disebabkan oleh faktor fisik (pendengaran) atau karena hal-hal yang bersifat psikologis. Tes psikologi ini bisa dilakukan pada saat anak berumur 2 tahun [AS]

Tanya:
Sekarang anak keduaku sudah mau 2thn2bln, dia masih belum bisa bicara, cuma bisa mama-ayah..dan uggh..ughh… Apa yang kami (orang-orang rumah) lakukan dulu ke anakku yang pertama, diterapkan juga ke anak keduaku, cuma penerimaannya di tiap anak memang beda kali ya..pas buat anak pertama tapi masih kurang stimulasinya buat anak kedua. Sejauh ini segala perintah, perkataan kita, pengenalan huruf-angka, lagu-lagu, baca-baca cerita, cara kita bicara selalu dapat respon yang baik dari anak keduaku, dia juga expressif. Meski dijawab dengan uggh..ughh..dan gerakan tangan. Kalau kita tanya anggota badan, dia tahu, demikian juga buat orang-orang terdekatnya, caranya dengan menunjuk-nunjuk. Kalau misalnya kita ucapkan kata ‘makan’ supaya anakku itu mau mengulang-ulang walau cuma kata ‘kan’ saja, anakku cuma cengir-cengir, senyum-senyum, Harapan aku sih, memorinya merekam itu semua sampai memang pada waktunya dia bicara, tapi yaa tetap saja aku khawatir. Tadinya aku pikir, dia tidak beda jauh dengan abangnya yang pas 2 tahun bicara dan perbendaharaan kata bertambah terus di usia 2-2,5thn itu. Tapi ketika aku tunggu sebulan tidak ada penambahan kata apapun dari anakku. Aku sudah bawa dia ke dsa, konsul tentang hal ini, menurut beliau sejauh ini respon dari anakku bagus hanya menunggu waktu aja, tapi beliau juga tidak melarang kami untuk membawa ke terapi wicara. Dari sharing ibu DI (dulu kan pernah dibahas, aku malah ikutan sharing  ) dan aku juga sudah dapat tempat terapi wicara dari moms, ibu S dan dokternya, Aku mau coba ke terapi, ing tahu juga bagaimana buat anakku. Paling tidak kami juga jadi tahu dimana kekurangan kami dalam menstimulasinya. Moga-moga dalam waktu dekat ini anakku sudah bisa bicara ya, bu kadang aku suka kepikiran sendiri, aku yang terlalu khawatir atau biasa aja, memang belum saja waktunya bicara buat anakku? Terima kasih ya, bu [Rhm]

Jawab:
Mbak, Mungkin ada baiknya kalau sebelum ke terapi wicara, disingkirkan kemungkinan-kemungkinan lainnya. Soalnya adikku dulu juga telat bicaranya, dan diterapi wicara tapi tidak ada kemajuan. Ternyata, selidik punya selidik, telinganya yang bermasalah, pendengarannya agak kurang, tapi tidak sampai tuli. Jadi, memang respon kalau dipanggil atau diajak bicara ada, dan ini kalau tidak salah bisa diketahui dengan tes bera. Akhirnya baru setelah itu di terapi wicara yang memang arahnya ke anak yang pendengarannya kurang, baru deh berhasil. Kalau temenku lain lagi, anaknya juga telat bicara, ternyata anatomi lidahnya yang bermasalah. Aku gak inget persisnya, tapi akhirnya harus dioperasi, dan setelah itu memang ngomongnya bagus tuh. Aku cukup sering juga dengar cerita tentang anak-anak yang bicaranya telat, tapi begitu bisa bicara, tidak bisa berenti bicara. Yah, moga-moga memang belum waktunya saja kali ya mbak [Rn]
Aku mau sharing juga, anakku (2th 4bln) juga sempat dibawa ke Terapi Wicara selama 3 bulan (Juni – Agustus lalu). Alhamdulillah sekarang sudah cerewet sekali! Menjelang ulang tahun ke 2 (Juni lalu) aku merasa perbendaharaan katanya tidak ada kemajuan, cuma bisa bilang mamah, papah, bapa, teteh, kaka, mamam dan beberapa kata pendek lainnya dan juga ugh..ugh..sambil nunjuk-nunjuk kalau mau sesuatu. Tapi nalarnya sudah jalan, dan sudah mengerti kalau kita bicara apa. Sama dengan kamu, aku juga khawatir dan sempat konsul ke Dsa-nya katanya tunggu sampai umur 2 tahun, tapi aku tidak sabar, dan akhirnya aku bawa dia ke Klinik Terpadu Tumbuh Kembang Anak di Kramat Pela (Kebayoran) untuk diobservasi. Alhamdulillah anakku cuma telat 3 bulan dari semestinya, alias masih dalam taraf normal, cuma saja ada kecenderungan “malas” bicara. Tapi perkembangan yang lainnya sudah setara dengan anak 23 bualn. Akhirnya anakku dijadwalkan ikut terapi
wicara 2 minggu sekali, tapi dari Kebayoran aku pindah ke Tangerang yang lebih dekat dengan rumah (untung saja ada cabangnya!). Metode
belajarnya 1 guru = 1 murid, pada hari pertama masih boleh didampingi, untuk seterusnya tidak boleh. Selain terapi wicara aku ikutkan program Okupasi (belajar & bermain), untuk mengasah motorik halusnya. Di rumah juga kita harus mengulang-ulang yang sudah diajarkan di sana supaya makin lancar. Menurutku, sebaiknya ikutkan saja anak mbak ke terapi wicara, di sana kan dilatih oleh “ahlinya”, Insya Allah bisa cepat bicara seperti anakku. Soalnya kalau dari ceritamu, kasus anakmu hampir sama dengan anakku, ada unsur ‘kemalasan’nya. Setelah masuk 3 bulan, alhamdulillah anakku sudah makin pintar bicaranya, akhirnya aku stop dulu, sambil lihat perkembangannya. Alhamdulillah, semakin banyak perbendaharaan katanya dan makin bawel. Semoga bermanfaat yaa [Wwd]
Mbak, Kalau menurutku, mungkin :
1. Anak mbak beda sama kakaknya, masalah waktu saja. Coba cek kepekaannya, dia mengerti tidak intisari kata itu apa. Terus, diulang-ulang terus. Anak keduaku juga tidak secepat anak pertama mbak, tapi dia mengerti maksudnya apa. Aku terapkan ini juga, usaha
2. Kalau terapi, makin cepat makin baik. supaya cepat ke-cek ada apa, jika ada apa-apa, syukur-syukur tidak ada apa-apa. Aku belum tahap sepanik mbak. Masih bertahan untuk mencoba sendiri. Tapi terapinya harus lihat-lihat, aku tidak punya kenalan soal ini.
3. Pijit, pijit bayi, apa tradisional yang biasa balita. Kenapa, karena dibadan anak ada susunan syaraf di setiap anggota tubuhnya. Itu mengarah ke otak, otak merintah ke bagian anggota tubuh lain. Biar bagaimana juga Allah SWT sudah membuat pabrik yang paling sempurna yaitu mekanisme tubuh manusia, makanan untuk mata, pasti tersalurkan ke mata. Semoga dengan pijitan-pijitan itu bisa mempercepat proses ke arah yang kita mau.
4. Imunisasi yang meragukan buat mbak, lebih baik tunda dulu. Anakku tidak aku kasih MMR, karena aku ragu.
5. Khawatir, aku juga ngerti. Tapi bismillah-lah mbak. Kita intensifkan saja, lagu-lagu dimobil/rumah/vcd/ radio, bicara/mengoceh apa saja pakai peraga/tidak.
6. Yang sabar ya, masih lebih baik dirimu ada ibu, nah aku, ada apa-apa, berdua saja sama suamiku. Setidaknya mbak lebih bisa konsentrasi untuk ke satu titik, ke anak-anak [Em]

Terapi Wicara Ampuh Atasi Keterlambatan Bicara Anak



Terapi Wicara Ampuh Atasi Keterlambatan Bicara Anak



Kalangan orang tua dianjurkan bersikap waspada ketika mendapati anaknya sejak lahir sampai usia 2 tahun tak pernah ngoceh dan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Karena itu merupakan indikasi awal keterlambatan bicara pada anak yang merupakan satu dari sekian gangguan psikis dan kejiwaan anak. Gejala keterlambatan bicara pada anak itu makin perlu penanganan khusus jika memiliki gangguan komunikasi dan keterbelakangan lainnya.

Praktisi Penanganan keterlambatan bicara anak Ikatan Therapist Wicara Indonesia Evi Sabir Gitawan mengatakan, keterlambatan bicara pada anak merupakan gangugan psikis dan mental yang perlu perhatian khusus dari orang tua. Pasalnya, fenomena psikis ini menghambat perkembangan mental dan pertumbuhan fisik sampai dewasa. Ada beberapa simptoms yang dapat dicermati untuk mengetahui anak menyandang keterlambatan wicara. Antara lain gaya bicara yang gagap dan gangguan penyampaian bahasa ditinjau dari segi bunyi bahasa, semantik, marfologi, sintaks, dan tata bahasa yang agak menyimpang dari penyampaian anak-anak normal sebayanya.

“Prevalensi keterlambatan bicara pada anak bisa timbul pada anak-anak yang sejak lahir sampai usia 2 tahun tak ada mengucapkan satu kata pun. Ditinjau dari sisi medis, keterlambatan bicara pada anak termasuk patologis yang perlu penanganan khusus,” katanya saat ditemui usai Seminar Autisme dalam rangka memperingati HUT RSPB ke-XX di Aula Pemkot Balikpapan, Sabtu (28/4).

Pada anak yang tumbuh normal, kemampuan bicara mulai timbul sejak lahir. Ditunjukkan dengan ocehan anak yang menirukan ucapan. Seiring bertambahnya usia, anak mulai mengalami perbaikan bunyi dan pengucapan dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Masalah keterlambatan bicara pada anak mendapat perhatian dari kalangan medis berkaitan adanya prevalensi kuat terhadap gejala autis. Banyak hal yang memicu anak mengalami masalah keterlambatan komunikasi antara lain, rekan psikis dari orang tua dan masalah keharmonisan keluarga. Dalam beberapa kajian menemukan rata-rata anak yang jarang menjalin komunikasi dengan orang tuanya apalgi dengan orang lain rentan mengalami hambatan bicara. Anak yang dipasung orang tuanya yang mungkin timbul dari rasa malu punya anak cacat atau proteksi berlebihan orang tua juga berpengaruh pada keterbelakangan bicara anak. Sebab lain keterbelakangan kemampuan bicara pada anak adalah gangguan psikis yang berhubungan stigma medis yang dialami anak.

Evi Sabir menerangkan, beberapa terapi dapat diterapkan untuk penanganan keterlambatan bicara pada anak antara lain terapi medis dan terapi mental.

Terapi medis dilakukan untuk anak yang mengalami keterlambatan bicara akibat kelainan fisik seperti bibir sumbing, gangguan pendengaran dan kelainan lain yang berkaitan organ motoris penunjang komunikasi. Terapi mental diterapkan melalui bimbingan intensif yang bisa dilakukan orang tua di rumah.
“Dampingi dia dan ajarkan mengucapkan kata-kata pada anak. Dengan rangsangan mengulang itu, jadi rangsangan wicara itu memacu anak untuk mengenal kata-kata dan mengucapkannya dengan menirukan apa yang dia dengar dan dia ucapkan. Rangsangan wicara yang menghubungkan asosiasi kata dan pendengaran itu dikenal dengan auditory bombaten, ” jelasnya.

Evi menerangkan, terapi penanganan masalah keterlambatan bicara pada anak akan mencapai hasil maksimal apabila ditangani oleh terapi wicara anak. Maksimalisasi penanganan terapi anak ini membutuhkan waktu yang berbeda-beda. Untuk kasus sengau atau cadel butuh terapi intensif minimal 6 bulan. Terapi tersebut butuh waktu lebih lama lagi bagi anak yang menyandang kesultian bicara akibat gangguan pendengaran dan kelainan organ mulut.

Mengenali Anak Autisme


Mengenali Anak Autisme


Sering timbul kekuatiran jika anak kita terlambat bicara atau bertingkah laku tidak lazim , apakah anak menderita autisme. Kata autisme saat ini sering kali diperbincangkan , angka kejadian di seluruh dunia terus meningkat. Banyak penyandang autisme terutama yang ringan masih tidak terdeteksi dan bahkan sering mendapatkan diagnosa yang salah , atau bahkan terjadi overdiagnosis . hal tersebut tentu saja sangat merugikan anak.

Apakah autisme itu ?
Kelainan perkembangan yang luas dan berat, dan mempengaruhi anak secara mendalam. Gangguan tersebut mencakup bidang interaksi sosial , komunikasi , dan perilaku.

Kapan deteksi dini autisme pada anak ?
Gejala autisme mulai tampak pada anak sebelum mencapai usia 3 tahun , secara umum gejala paling jelas terlihat antara umur 2 – 5 tahun.
Pada beberapa kasus aneh gejala terlihat pada masa sekolah.

Berdasarkan penelitian lebih banyak didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Beberapa tes untuk mendeteksi dini kecurigaan autisme hanya dapat dilakukan pada bayi berumur 18 bulan ke atas.

Waspadai gejala – gejala autisme

Gejala autisme berbeda – beda dalam kuantitas dan kualitas ,penyandang autisme infantil klasik mungkin memperlihatkan gejala dalam derajat yang berat , tetapi kelainan ringan hanya memperlihatkan sebagian gejala saja.

Kesulitan yang timbul, sebagian dari gejala tersebut dapat muncul pada anak normal, hanya dengan intensitas dan kualitas yang berbeda.

Gejala – gejala pada autisme mencakup ganggguan pada :
Ø 1. gangguan pada bidang komunikasi verbal dan non verbal

• Terlambat bicara atau tidak dapat berbicara
• Mengeluarkan kata – kata yang tidak dapat dimengerti oleh orang lain yang sering disebut sebagai bahasa planet
• Tidak mengerti dan tidak menggunakan kata – kata dalam konteks yang sesuai
• Bicara tidak digunakan untuk komunikasi
• Meniru atau membeo , beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian , nada , maupun kata – katanya tanpa mengerti artinya
• Kadang bicara monoton seperti robot
• Mimik muka datar
• Seperti anak tuli, tetapi bila mendengar suara yang disukainya akan bereaksi dengan cepat

2. gangguan pada bidang interaksi sosial

• Menolak atau menghindar untuk bertatap muka
• anak mengalami ketulian
• Merasa tidak senang dan menolak bila dipeluk
• Tidak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang
• Bila menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan mengharapkan orang tersebut melakukan sesuatu untuknya.
• Bila didekati untuk bermain justru menjauh
• Tidak berbagi kesenangan dengan orang lain
• Kadang mereka masih mendekati orang lain untuk makan atau duduk di pangkuan sebentar, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik apapun
• Keengganan untuk berinteraksi lebih nyata pada anak sebaya dibandingkan terhadap orang tuanya


3. gangguan pada bidang perilaku dan bermain

• Seperti tidak mengerti cara bermain, bermain sangat monoton dan melakukan gerakan yang sama berulang – ulang sampai berjam – jam
• Bila sudah senang satu mainan tidak mau mainan yang lain dan cara bermainnya juga aneh
• Keterpakuan pada roda (dapat memegang roda mobil – mobilan terus menerus untuk waktu lama)atau sesuatu yang berputar
• Terdapat kelekatan dengan benda – benda tertentu, seperti sepotong tali, kartu, kertas, gambar yang terus dipegang dan dibawa kemana- mana
• Sering memperhatikan jari – jarinya sendiri, kipas angin yang berputar, air yang bergerak
• Perilaku ritualistik sering terjadi
• Anak dapat terlihat hiperaktif sekali, misal; tidak dapat diam, lari kesana sini, melompat – lompat, berputar – putar, memukul benda berulang – ulang
• Dapat juga anak terlalu diam


4.gangguan pada bidang perasaan dan emosi

• Tidak ada atau kurangnya rasa empati, misal melihat anak menangis tidak merasa kasihan, bahkan merasa terganggu, sehingga anak yang sedang menangis akan di datangi dan dipukulnya
• Tertawa – tawa sendiri , menangis atau marah – marah tanpa sebab yang nyata
• Sering mengamuk tidak terkendali ( temper tantrum) , terutama bila tidak mendapatkan apa yang diingginkan, bahkan dapat menjadi agresif dan dekstruktif


5. gangguan dalam persepsi sensoris

• Mencium – cium , menggigit, atau menjilat mainan atau benda apa saja
• Bila mendengar suara keras langsung menutup mata
• Tidak menyukai rabaan dan pelukan . bila digendong cenderung merosot untuk melepaskan diri dari   pelukan
• Merasa tidak nyaman bila memakai pakaian dengan bahan tertentu

Apa yang sebaiknya anda lakukan?

Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter anda jika mencurigai adanya satu atau lebih gejala di atas pada anak anda. Tetapi jangan juga cepat – cepat mennyatakan anak anda sebagai penderita autisme.

Diagnosis akhir dan evaluasi keadaan anak sebaiknya ditangani oleh suatu tim dokter yang berpengalaman , terdiri dari ; dokter anak , ahli saraf anak, psikolog, ahli perkembangan anak, psikiater anak, ahli terapi wicara.

Tim tersebut bertanggung jawab dalam menegakan diagnosis dan memberi arahan mengenai kebutuhan unik dari masing – masing anak , termasuk bantuan interaksi sosial , bermain, perilaku dan komunikasi .

Ciri Awal dari Autisme pada Bayi


Ciri Awal dari Autisme pada Bayi


Para peneliti di Canada dan Amerika menemukan 16 ciri2 awal perilaku bayi yang merupakan prediksi akurat untuk timbulnya autisme dikemudian hari.

Para peneliti di Canada dapat menunjukkan bahwa perilaku tertentu pada bayi bisa meramalkan dengan cukup akurat bahwa akan berkembang menjadi gejala autisme.
Suatu penelitian yang masih sedang berjalan pada 200 bayi Canada adalah penelitian terbesar yang pernah dilakukan. Bayi2 tersebut mempunyai kakak yang terdiagnosa dengan ASD (Autism Spectrum Disorder). Mereka dipantau terus selama lebih dari 24 bulan. Penemuan awal ini telah dipublikasikan bulan April dalam International Journal of Developmental Neuroscience.

Penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai seorang anak autistik mempunyai kemungkinan mempunyai anak autistik lagi sekitar 5-10 persen.
Penelitian Canada dimulai sebagai kerja sama antara McMaster University (Offord Centre for Child Studies in Hamilton), The Hospital for Sick Children di Toronto, dan
IWK Health Centre in Halifax. Penelitian ini telah menarik perhatian nasional.Semula dibiayai oleh The Hospital for Sick Children Foundation, sekarang dibiayai oleh The Canadian Institute of Mental Health Research, penelitian ini berkembang dan mengikut sertakan 14 kota diseluruh Canada dan Amerika.
Penelitian ini akhirnya menjadi kerja sama yang besar antara Canada dan Amerika.

Dari seluruh gangguan perkembangan yang ada, Retardasi Mental adalah yang terbanyak, kemudian disusul oleh Gangguan Spektrum Autisme. Meskipun seluruh kumpulan gejalanya luas, bisa sangat ringan maupun sangat berat, namun semuanya menunjukkan gangguan dalam bidang, komunikasi, interaksi sosial dan perilaku.
Gangguan ini demikian kompleksnya dan diagnosanya tergantung dari kemampuan dan pengalaman klinis pemeriksa, oleh karena instrument yang bisa mengukur autisme untuk bayi belum ada.

Saat ini para peneliti Canada membuat instrument tersebut yang disebut : Autism Observation Scale for Infants (AOSI). Instrumen ini mengukur perkembangan bayi mulai 6 bulan, mencari 16 ciri-ciri yang khas yang menimbulkan risiko timbulnya autisme, seperti misalnya :

- tidak mau tersenyum bila diajak senyum
- tidak bereaksi bila namanya dipanggil
- temperamen yang passif pada umur 6 bulan, diikuti dengan iritabilitas yang tinggi
- kecenderungan sangat terpukau dengan benda tertentu
- interaksi sosial yang kurang
- ekspresi muka yang kurang hidup pada saat mendekati umur 12 bulan.
- pada umur satu tahun anak-anak ini lebih jelas menunjukkan gangguan komunikasi dan berbahasa.
- bahasa tubuhnya kurang
- pengertian bahasa reseptif maupun ekspresif rendah.

Apakah cirri-ciri diatas ini merupakan ciri dini dari autisme, atau merupakan perilaku yang menyebabkan berkurangnya kemampuan sosialisasi sehingga timbul gangguan perkembangan seperti autisme ? Bagaimanapun hasil penelitian ini akan membuat kita lebih mengerti kapan autisme pada seorang anak mulai timbul.

Dr Zwaigenbaum mengatakan bahwa kekuatan prediksi dari cirri-ciri ini sangat kuat. Dari anak yang telah dipantau selama 24 bulan, yang kemudian benar-benar terdiagnosa sebagai ASD , menunjukkan sedikitnya 7 dari 16 ciri-ciri tersebut.
Dengan mengenali ciri2 tersebut sedini mungkin, diagnosa bisa ditegakkan sedini mungkin, dan intervensi bisa dimulai lebih dini. Hal ini akan mempengaruhi masa depan anak tersebut.

Jessica Brian, salah seorang yang turut mengambil bagian dalam penelitian tersebut di Hospital for Sick Children sudah mulai mengembangkan teknik2 intervensi dini untuk bayi yang menunjukkan ciri2 tersebut.
John Kelton, dekan dan vice president dari McMaster’s Faculty of Health Science mengatakan : “ Ini merupakan langkah maju yang penting. Kelompok di Offord Centre benar2 melakukan langkah nyata dalam memberikan penanganan yang lebih baik bagi anak2 dan keluarga dimana ada seorang yang menderita gangguan autistik".
The Offord Centre for Child Studies di McMaster University adalah sebuah pusat penelitian mengenai perkembangan anak yang diakui secara internasional.

Untuk mengetahui lebih banyak bukalah website mereka : http://www.offordcentre.com

Sumber : Yayasan Autisma Indonesia (YAI)
Website : http://www.autisme.or.id

Penyebab Autis Pada Anak.


Penyebab Autis Pada Anak.

Orangtua yang punya anak autis sering dibayangi terus menerus oleh pertanyaan ‘kenapa harus anak saya?’. Meski banyak kemungkinan seorang anak terkena autis, tapi banyak orang tua yang tidak terima anaknya menderita autis.

“Banyak orang tua yang terbangun tengah malam dan terus mencari tahu jawaban untuk teka-teki yang sebenarnya tidak perlu mereka cari tahu. Cukup menerimanya dengan lapang dada bisa menghilangkan pertanyaan yang terus menghantui tersebut,” kata Dr Judith.

“Beberapa orang tua terus mencari tahu jawaban pertanyaan tersebut dengan mencari informasi sebanyak-banyaknya, tapi mereka tetap tidak terima anaknya terkena autis,” ujar Patricia Robinson,terapis ADHD, autis dan Asperger’s sindrom seperti dilansir CNN, Senin (8/2/2010).

Maria Collazo dari New Jersey, orang tua dari bocah 5 tahun penderita autis mulai curiga pada anaknya setelah ia kesulitan mengambil benda dan mengucapkan kata pada umur 1 tahun.
Setelah tahu bahwa anaknya mengalami autis, Maria langsung melakukan browsing di internet, pergi ke perpustakaan, memesan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam mengenai autis.
Ia mulai berpikir, apakah pekerjaannya yang selama berjam-jam di kantor, penggunaan Blackberry atau radiasi saat memeriksa kandungan yang membuatnya melahirkan anak dengan kondisi autis.

“Saya bertanya banyak hal pada diri sendiri. Apakah saya makan sesuatu yang tidak seharusnya? Apakah saya terkena paparan zat berbahaya selama hamil? Saya terus bertanya tapi saya tetap tidak tahu jawabannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang membuat pikiran ini terus bertanya,” tutur Maria.
Menurut Dr Judith Miles, professor pediatrik dan patologi, sangat wajar dan manusiawi jika seseorang ingin tahu kenapa sesuatu hal bisa terjadi. Tapi kebanyakan bertanya pada diri sendiri apalagi menyalahkan diri sendiri bisa membuat seseorang depresi.
“Mereka terus-terusan mencari tahu dan melihat ke belakang. Mereka juga terus menyalahkan dirinya sendiri, jangan-jangan kebiasaannya saat hamil adalah penyebabnya. Padahal tidak ada bukti kuat yang menunjukkannya,” kata Dr Judith.
Mungkin harusnya saya tidak melakukan itu, mungkin harusnya saya tidak tinggal di daerah itu, mungkn harusnya saya tidak mengonsumsi makanan organik atau mungkin harusnya saya lebih banyak minum vitamin adalah pernyataan yang sering terlintas pada benak orang tua.

Dr Judith yang merupakan direktur biomedis dari the Thompson Center for Autism and Neurodevelopmental Disorders di University of Missouri menyebutkan, bahwa orang tua seharusnya bisa menerima anak yang telah dilahirkan ke dunia apapun kondisinya tanpa perlu memaksakan diri untuk tahu penyebab pastinya.
Autis merupakan gejala yang timbul karena adanya gangguan atau kelainan saraf pada otak seseorang. Diduga autis terjadi karena jembatan yang menghubungkan antara otak kanan dan otak kiri bermasalah atau terhambat.

Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Namun faktor genetik, lingkungan yang terpapar merkuri atau logam berat, pestisida atau antibiotik yang berlebihan diduga sebagai penyebabnya.
Sumber : http://health.detik.com/read/2010/02/08/140512/1295158/764/kenapa-anak-saya-kena-autis

Terapi Wicara untuk Tuna Rungu vs Non Tuna Rungu


Terapi Wicara untuk Tuna Rungu vs Non Tuna Rungu


Gangguan bicara bisa dibedakan pada tuna rungu (karena gangguan pendengaran) dan pada non tuna rungu (karena sebab lain seperti autis dan stroke).
Anak autis misalnya, walaupun ada gangguan bicara tetapi sebenarnya bisa mendengar. Walaupun tidak/belum bicara tetapi proses pemasukan kosa kata melalui telinga terus berlangsung sejak masih bayi. Kemungkinan besar ia mengerti apa yang didengarnya, hanya saja perlu bantuan untuk bisa berbicara dengan baik. Dalam hal ini peran terapis adalah melatih si anak berkonsentrasi, memperkenalkan prinsip-prinsip berkomunikasi (misal lewat permainan gantian/giliran) dan melatih berbicara (termasuk pengucapannya).
Pada orang yang pasca stroke dan mengalami gangguan bicara, peran terapis lebih ke membantu untuk kembali bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas. Di sini penderita tidak perlu diajarkan prinsip berkomunikasi verbal karena ia bahkan sudah pernah melakukannnya.
Walaupun agak berbeda dengan kasus autis, keduanya mempunyai kesamaan yaitu bisa mendengar. Artinya proses ‘input’ bagus, tetapi karena suatu gangguan menyebabkan ‘output’nya bermasalah.
Pada anak tuna rungu, ‘output’nya bermasalah justru karena gangguan pada ‘input’. (Note: sepanjang tidak mengalami gangguan lain selain pendengaran, alias bukan dobel handicap.)
Memanfaatkan sisa pendengaran yang ada, dengan ABD gangguan pada input itu dikurangi semaksimal mungkin sehingga si anak bisa mendengar dengan lebih baik (walau tidak sempurna). Tapi tak jarang kita jumpai terapis wicara yang bahkan tidak tahu anak kita bisa mendengar dengan bantuan ABD, sehingga cara terapinya sepenuhnya mengandalkan gerak bibir. Bagi sebagian orang tua yang memilih metode terapi wicara mungkin tidak masalah.
Tetapi bagi kami yang menerapkan terapi terpadu (mendengar + wicara), kami lebih prefer pemasukan kosa kata alias ‘input’nya yang utama melalui telinga (bukan melihat gerak bibir) sementara terapi wicara untuk membantu output yaitu pengucapan kata-kata yang si anak sudah mengerti tapi kesulitan mengucapkannya (Plus pada saat awal memperkenalkan prinsip berkomunikasi, karena saat itu kalau ada orang yang ngajak bicara, Ellen masih cenderung menirukan, bukan gantian bicara).
Dalam hal ini terapis wicara minimal harus tahu bahwa si anak bisa mendengar. Selanjutnya kami juga perlu sharingkan prinsip-prinsip dasar terapi mendengar agar dia tahu kalau kami juga menjalankan terapi lain (secara lisan, pinjamkan artikel) serta model terapi terpadu yang kami hendak jalankan dengan bantuan dia.
Jika terapis wicara tidak tahu kalau si anak bisa mendengar, pada saat permainan gantian misalnya, ia akan memberi aba-aba “Ellen” “Ibu” “Ellen” “Ibu” dst dengan cara berteriak sambil meminta Ellen memperhatikan gerak bibirnya. Sementara dengan pendekatan terapi mendengar/TAV, aba-aba seperti itu dilakukan secara full verbal, jadi sekaligus untuk melatih si anak mengenali suara. (Note: bahkan di TAV si terapis menutupi mulutnya dengan tangan/kertas agar tidak terlihat gerak bibirnya, tetapi kami sendiri jarang begitu karena kadang Ellen malah ikut menutupi mulutnya; kami lebih sering mengucapkannya dari samping/belakang.)
Dengan pemahaman sederhana bahwa si anak bisa mendengar, terapis wicara diharapkan tidak terlalu menuntut si anak melihat gerak bibirnya –kecuali tentunya pada saat belajar membentuk pengucapan yang benar.
Tidak mudah memang memperkenalkan metode ini ke terapis wicara yang biasanya beranggapan anak tuna rungu tidak bisa mendengar. Tetapi tidak sedikit juga yang bersikap terbuka dan bisa diajak bekerjasama membantu perkembangan si anak. (by: papa Ellen)